Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Hadis Dakwah



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Dari segi bahasa, Islam masih berakar pada kata salam yang berarti tunduk, patuh, dan damai. Sedangkan menurut istilah, Islam adalah nama agama yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar dan sesuai fitrah kemanusiaan. Islam diturunkan bukan kepada Nabi Muhammad saw. saja, tapi diturunkan pula kepada seluruh nabi dan rasul. Sesungguhnya seluruh nabi dan rasul mengajarkan Islam kepada umatnya.
B.  Pengertian Perdamaian
Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
Adapun damai yang dikehendaki dalam Islam meliputi kedua pengertian di atas.
C.  Konsep Dasar Perdamaian dalam Islam
Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan agama yang ditujukan demi kesejahteraan dan keselamatan seluruh umat sekalian alam.
Nabi Muhammad Saw pembawa risalah Islam, adalah juga pembawa bendera damai, kebaikan dan kebajikan kepada umat manusia. Beliau bersabda tentang dirinya:
Islam merupakan agama yang menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya (21) : 107).
D. Ta’awun Dalam Islam
Ta’awun adalah terhadap semua mahluk allah swt. Orang yang memiliki sikap ta’awun akan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Biasanya orang yang memiliki sikap ta’awun memiliki hati yang lembut, menghindari permusuhaan, mengutamakan persaudaraan, tidak mengharapkam imbalan atas apa yang diperbuat dalam menolong orang lain yang membutuhkan juga ikhlas dalam beramal.
Ta’awun diartikan sebgai upaya untuk mengembangkan sikap tolong menolong antara sesama muslim dan antara sesama manusia umumnya. Sikap ini mutlak harus dimiliki oleh para remaja akan memiliki hati yang lembut dan mencintai sesama.
Tasmuh di artikan sebgai upaya untuk bersama –sama berlaku baik, tenggang rasa,saling menghormati, dan saling menghargai menghargai antara sesama .

E. Ajaran Islam Mewujudkan Perdamaian
Ajaran Islam berisikan banyak perintah supaya menyelesaikan pertikaian di antara masyarakat dan bangsa dengan maksud membangun kedamaian.[1] Bahakan pada dasarnya semua ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw itu bertujuan untuk mewujudkan perdamaian[2], penulis hanya mencantumkan beberapa di antaranya dan membaginya kepada dua ruang lingkup, ajaran Islam yang berkaitan dengan individu dan ajaran Islam yang berkaitan dengan negara/politik.
1. Islam Dan Perdamaian Dalam Ruang Lingkup Antar Individu Dan Masyarakat
Ajaran Islam dalam ruang lingkup ini wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin tidak terkecuali, di antaranya:
a. Melindungi hak untuk hidup[3]
Yang paling sederhana adalah dijaminnya hak manusia untuk hidup. Hak ini sebelum Islam tidak diakui untuk semua manusia. Di masa Jahiliyyah bayi perempuan dikuburkan hidup-hidup, budak dapat diperlakukan sekehendak hati termasuk dibunuh, dan lain-lain.
Adapun Islam, melindungi hak hidup. Islam melarang membunuh orang lain tanpa alasan yang benar, serta melarang juga bunuh diri. Islam sangat menghargai jiwa seseorang, untuk itu diberlakukanlah hukum Qishas. Di mana apabila seseorang membunuh orang lain tanpa alasan yang benar, maka ia harus mengganti dengan nyawanya sendiri.
Dari dulu sampai sekarang, pembunuhan tanpa disertai dengan hukum yang jelas, berbuah kepada konflik. Baik itu konflik yang melibatkan satu dua orang, maupun konflik yang meluas sehingga mengakibatkan peperangan antar kelompok, bahkan antar negara. Jadi, dengan adanya kepastian hukum di dalam Islam dalam menjamin hak hidup seseorang ini, secara tidak langsung sangat berpengaruh pada terciptanya perdamaian dan kelangsungan hidup umat manusia.
b. Memerintahkan untuk Adil[4]
Selanjutnya keadilan dinilai sangat penting dalam mewujudkan kondisi yang aman, tentram, dan damai. Banyak peperangan, pertengkaran dan konflik terjadi dikarenakan ketidak adilan satu pihak dalam memperlakukan pihak lainnya. Maka Islam menyeru setiap individu muslim untuk memperlakukan semua manusia, termasuk non-muslim, dengan adil.
Di Indonesia sendiri pernah terjadi lebih kurang 15 kali pemberontakan, menurut mantan wakil presiden Jusuf Kalla dari 15 konflik itu 10 kasus terjadi karena adanya ketidakadilan.[5]
c.  Menghapus kelas-kelas sosial[6]
Pada masa Jahiliyyah, kekerasaan yang dilakukan oleh golongan yang lebih kuat terhadap golongan yang lebih lemah adalah hal yang biasa. Islam datang dengan menghapus kesenjangan sosial tersebut, membebaskan manusia dari perbudakan sesama, dan menghargai hak-hak setiap individu.
Di Eropa pernah berkali-kali terjadi pemberontakan budak, ketika itu para budak diperlakukan sesuka hati dan tidak mempunyai hak apapun kecuali menuruti Tuannya. Terdapat bukti dokumenter lebih dari 250 pemberontakan atau percobaan huru-hara yang melibatkan 10 orang budak atau lebih. 3 dari yang paling dikenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Gabriel Prosser di Virginia pada tahun 1800, Denmark Vesey di Charleston, South Carolina pada tahun 1822, dan Nathaniel Turner di Southampton County, Virginia, pada tahun 1831. Sedangkan dalam Khazanah Islam, pemberontakan budak demi menuntut persamaan hak tidak pernah terjadi. Hal itu dikarenakan Islam telah terlebih dahulu menjamin hak semua orang walaupun ia berstatus budak. Ini juga merupakan bahagian daripada keadilan yang dianjurkan oleh Islam.
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Ahmad)[7]
d. Mengenalkan konsep persaudaraan universal[8]
Jika budak saja diperlakukan sebagai saudara, maka bagaimana sikap Islam dengan orang-orang yang merdeka? Islam mengajarkan konsep persaudaraan yang tidak hanya dibatasi oleh keturunan, suku ataupun bangsa.
Semua Umat Islam dipersaudarakan oleh satu keyakinan kepada Tuhan, dengan tujuan agar mereka dapat saling menjaga dan mencintai sesamanya. Namun sayangnya, tidak dapat dipungkiri banyak muslim yang melupakan konsep ini, sehingga seringkali pecah konflik antar sesama, baik konflik militer maupun pemikiran.
Antara yang satu dengan yang lainnya saling menyalahkan pada hal-hal yang furu’iyah, membenarkan diri pribadi dan yang terparah adalah menumbuhkan benih-benih kebencian terhadap muslim lainnya. Kenyataan lainnya yang tidak dapat dipungkiri pula dewasa ini adalah sikap acuh tidak acuhnya sebagian kaum muslim terhadap penderitaan sebagian muslim lainnya.
Padahal pada masa awal-awal Islam, Rasulullah Saw sangat menekankan prinsip persaudaraan antara sesama muslim, begitu pula dengan para khulafaur rasyidin. Setiap individu dan kelompok menahan diri daripada ambisi pribadi dan sebagainya demi persatuan umat. Seiring dengan berjalannya waktu, pengamalan daripada prinsip dasar Islam ini semakin menipis, dan menimbulkan banyak perpecahan serta konfilk.
Selain persaudaraan yang dilandasi oleh keyakinan, Islam juga mengenalkan persaudaraan yang lebih universal, yakni seluruh manusia itu pada dasarnya satu, berasal dari nenek moyang yang sama, yakni Adam as. Oleh karena itu Islam tetap menjunjung hak asasi orang yang bukan Islam sebagai manusia, tidak menganiaya mereka, toleransi dan berlaku adil terhadap mereka.
Islam tidak pernah memaksakan pemeluk agama lain untuk pindah agama, Allah menjelaskan ini dalam firmannya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) ....” (QS. Al-Baqarah (2) : 256)
2. Islam Dan Perdamaian Dalam Ruang Lingkup Antar Negara
Ajaran Islam dalam ruang lingkup ini memberi petunjuk mengenai tindakan yang dapat diambil oleh pemerintah Islam untuk menjaga perdamaian antara negara Islam dengan negara non-Islam dan negara Islam dengan negara Islam lainnya, beberapa di antaranya yang kami kami ketahui ialah sebagai berikut:
a. Mengadakan Hubungan Diplomasi
Yang sekarang dikenal sebagai diplomasi adalah sebuah tradisi yang dikenal dan dilaksanakan oleh semua golongan manusia, dulu dan sekarang. Golongan-golongan pada masa dahulu mengutus utusan atau dutanya ke golongan lain dalam urusan-urusan tertentu seperti menyampaikan bela sungkawa, menyampaikan selamat, atau persiapan perundingan pernikahan raja, untuk membawa hadiah, atau untuk mengadakan musyawarah dan negosiasi. Tugas utusan dan duta tersebut adalah tugas periodik yang berakhir bersamaan dengan berakhirnya masalah.[9]
Nabi Muhammad SAW, khulafaurrasyidin, dan para pemimpin islam juga mengikuti tradisi ini dalam mengutus utusan ke negara-negara lain untuk menyebarkan dakwah, mengadakan perjanjian, ataupun merundingkan perdamaian.
b. Menghormati Perjanjian Antar Negara[10]
Syariat Islam menetapkan prinsip menghormati perjanjian antar negara dan berpegang pada isinya. Menepati janji dalam Islam adalah dasar pertemuan antar individu, golongan dan negara yang secara sadar, saling menolong, dan saling percaya. Islam berpegang teguh untuk menepati janji dan meganggapnya sebagai hal yang wajib, yang tidak bisa ditinggalkan untuk memperkuat hubungan antar manusia.[11]
Rasulullah Saw sendiri pernah melakukan perjanjian Hudaibiyah, yakni perjanjian genjatan senjata dengan kaum musyrikin Quraisy, di mana para sahabat menilai perjanjian itu merugikan pihak Islam sehingga mereka meminta Rasulullah membatalkan perjanjian. Akan tetapi Rasulullah dengan tegas menolak saran tersebut, dan memerintahkan umat Islam untuk tetap melaksanakan isi perjanjian itu. Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi generasi-generasi Islam selanjutnya, bahwasanya Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berkhianat terhadap janji yang sudah disepakati.
E. Antara Peperangan Dan Perdamaian Dalam Islam
Orientalis sering memandang Islam dari aspek negatif. Islam dianggap sebagai agama pedang, agama yang penuh dengan kekerasan dan umatnya suka berperang. Padahal konsep perang dalam Islam hanya sebatas mempertahankan diri dari ancaman dari luar. Untuk itu, terkadang Islam menempatkan umatnya pada posisi bertahan, yakni baru berperang apabila ada musuh yang menyerang. Terkadang pula Islam menempatkan umatnya pada posisi menyerang, yakni lebih dulu menyerang lawan yang telah diyakini memiliki tujuan untuk menghancurkan Islam.
Dr. Samir Aliyah menyebutkan bahwa konsep perdamaian dalam Islam adalah seseorang muslim tidak boleh mengharapkan terjadinya perang atau mengajak perang, bahkan kepada musuh.[12] Musuh yang dimaksudkan di sini adalah kaum musyrikin. Beliau juga mengutip pendapat Dr. Hamid Sulthan, pengarang kitab Ahkam al-Qanun ad-Dauli fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, bahwa perang dalam Islam adalah keadaan darurat yang mengharuskan membela diri secara syar’i.
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Janganlah kamu berharap bertemu dengan musuh dan memohonlah keselamatan kepada Allah. Apabila kamu bertemu dengan mereka maka bersabarlah.” (HR. Muslim)
Islam juga merupakan agama yang memiliki konsep akan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, Allah Yang Maha Esa, dengan panduan al-Quran dan as-Sunnah. Kedamaian dan kesejahteraan umat adalah dasar utama yang diajarkan dalam Islam. Oleh karena itu, pembunuhan, permusuhan, dan perpecahan tanpa alasan yang kuat bukanlah ajaran yang berasal dari agama Islam. Bahkan dalam menyeru manusia kepada Islam, Umat Islam diperintahkan untuk berdakwah dengan jalan yang baik, bukan dengan kekerasan. Hal ini ditegaskan pula dalam Firman Allah Swt:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...” (QS. An Nahl (16) : 125).
Dan dalam ayat yang lainnya:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.....” (QS. Ali Imran (3) : 159)

Islam tidak pernah keluar dari dasar ini, yakni perdamaian, kecuali permusuhan yang dimulai dari pihak lain yang mengancam eksistensinya, dalam hal ini dipandang sebagai usaha untuk mempertahankan mempertahankan diri.
Allah Swt berfirman:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj (22) : 39).
Namun dalam keadaan perang pun, Islam masih tetap menjaga fungsinya sebagai agama rahmatal lil ‘alamin, dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 190:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah (2) : 190).
Bahkan apabila musuh berhenti memerangi atau condong kepada perdamaian, maka umat Islam diperintahkan untuk menerima perdamaian mereka. Hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Anfal (8) : 61 dan QS. An-Nisa’ (4) : 90.













DAFTAR PUSTAKA
Al- Quranul Karim
Seyyed Hossein Nasr. Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. (2003). Bandung: Mizan
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam. (2004) Jakarta: Khalifa
Wikipedia. Pemberontakan budak. http://id.wikipedia.org/ (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)
Jusuf Kalla. Konflik Sosial Terjadi Karena Ketidakadilan. http://www.pikiran-rakyat.com. (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)
Abdullah Ali Bassam dan Abu Bakar al-Jazairi. Sikap Islam terhadap Perbudakan. http://almanhaj.or.id (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)





[1] Seyyed Hossein Nasr. Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. (2003). Bandung: Mizan, hal 265
[2] QS. Al-Anbiya (21) : 107
[3] QS. Al- Isra’ (17) : 33, QS. Al-Maidah (5) :32, QS. An-Nisa’ (4) : 29, QS. Al-Baqarah (2)
[4] QS. An-Nahl (16) : 90, QS. Al-Maidah (5) : 8, QS. Al-Hujurat (49) : 9, QS. Al-Mumtahanah (60) : 8, QS. Asy-Syuraa (42) : 15, dll
[5] Jusuf Kalla. Konflik Sosial Terjadi Karena Ketidakadilan. http://www.pikiran-rakyat.com
[6] QS. Al-Hujurat (49) : 13
[7] Abdullah Ali Bassam dan Abu Bakar al-Jazairi. Sikap Islam terhadap Perbudakan. http://almanhaj.or.id
[8] QS. Al Hujurat (49) : 10 dan QS. Al-Baqarah : 213
[9] Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan...., hal 230
[10] QS. An-Nahl (16) : 91 dan 94, QS. Al-Israa’ (17) : 34, QS. Al-Maidah (5) : 1, QS. At-Taubah (9) : 4
[11] Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan...., hal 240
[12] Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam. (2004) Jakarta: Khalifa, hal 249

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Induk Akhlak Islami

BAB I
PENDAHULUAN
A.              Latar Belakang Masalah
            Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah daging, maka semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik atau buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul beberapa teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada pertengahannya. Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak islami, di dalam makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak islami, serta ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi sohaniah yang terdapat dalam diri manusia : akal, amarah dan nafsu syahwat.

                 B.              Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan induk akhlak islami?
2. Apa saja induk akhlak islami?

C.              Tujuan Masalah
untu                        1. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan induk akhlak islami 
                               2. Agar dapat mengetahui apa saja induk akhlak islami
2

                                                                                       BAB II
PEMBAHASAN
A.      Induk Akhlak Islami
Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk.[1]Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira atau kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.[2] Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia.

B.         Adil Sebagai Induk Akhlak Islami
Di dalam Al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini :

Artinya :“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Maidah : 8).

Artinya : “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil”. (QS. an-Nisa : 58).

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl : 90).

Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya. Berikut ini akan dijelaskan ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia :
1.           Akal
Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat yang terdapat dalam hadits Nabi yang memiliki arti“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”.
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
2.      Amarah
Amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menibulkan sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah. Allah berfirman.¨

Artinya: “(Orang-orang yang bertakwa yaitu) “Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain”. (QS. Ali ‘Imran : 134).

Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat orang yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain. Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadits Nabi yang artinya  “Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi orang yang gagah itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya jika marah”. (HR. Ahmad).

3.      Nafsu syahwat
Nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt. Berfirman yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).

Adapun nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup.[3] Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.

Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara struktural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau seimbang menjadi koordinator dari sifat-sifat lainnya.
Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam semangat kasih sayang. Demikian juga halnya Tuhan terhadap manusia.
Penerapan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan: “Muktazilah telah memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia berhubungan dengan Tuhan melalui pengrmbangan sikap adil yang dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan dan selalu dengan kepada-Nya”.
Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Menurut para pengritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah. Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan. Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir. Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahan. Jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an, tampak kata-kata adil dalam al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Namun demikian untuk menunjukkan contoh-contoh bentuk perbuatan dalam hubungannya dengan teori pertengahan, Al-Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil, misalnya:
a.          Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, Al-Qur’an menggunakan kata qawwama.
b.          Sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, Al-Qur’an menggunakan kata al-Qisth
c.          Dalam hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa, Al-Qur’an menempatkannya antara tadarru’,khifah dengan al-jahr.
d.          Untuk menggambarkan sikap pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang, Al-Qur’an menggunakan kata haunamma.
e.          Untuk menunjukkan sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan perkara, Al-Qur’an menggunakan kata al-Adl.
f.           Menggambarkan keadaan pertengahan atau yang ideal terhadap binatan semacam sapi, Al-Qur’an menggunakan kata awwanun.
g.          Menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya, Al-Qur’an menggunakan kata al-Kadzimin.
  
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlak al karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazmumah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikitan) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.

B.      Saran
Dengan selesainya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi penyusun dan pembaca semuanya. Serta diharapkan bagi kita semua supaya dapat menerapkan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan syariat islam seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dengan demikian kami sangat mengharapkan kritik dan saran agar untuk kedepanya  bisa menjadi lebih baik.




[1] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, Jilid lll, hlm.59.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, op.cit., hlm.17.
[3] Ibid., hlm.218.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS