Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Induk Akhlak Islami

BAB I
PENDAHULUAN
A.              Latar Belakang Masalah
            Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah daging, maka semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik atau buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul beberapa teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada pertengahannya. Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak islami, di dalam makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak islami, serta ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi sohaniah yang terdapat dalam diri manusia : akal, amarah dan nafsu syahwat.

                 B.              Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan induk akhlak islami?
2. Apa saja induk akhlak islami?

C.              Tujuan Masalah
untu                        1. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan induk akhlak islami 
                               2. Agar dapat mengetahui apa saja induk akhlak islami
2

                                                                                       BAB II
PEMBAHASAN
A.      Induk Akhlak Islami
Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk.[1]Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira atau kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.[2] Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia.

B.         Adil Sebagai Induk Akhlak Islami
Di dalam Al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini :

Artinya :“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Maidah : 8).

Artinya : “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil”. (QS. an-Nisa : 58).

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl : 90).

Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya. Berikut ini akan dijelaskan ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia :
1.           Akal
Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat yang terdapat dalam hadits Nabi yang memiliki arti“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”.
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
2.      Amarah
Amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menibulkan sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah. Allah berfirman.¨

Artinya: “(Orang-orang yang bertakwa yaitu) “Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain”. (QS. Ali ‘Imran : 134).

Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat orang yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain. Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadits Nabi yang artinya  “Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi orang yang gagah itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya jika marah”. (HR. Ahmad).

3.      Nafsu syahwat
Nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt. Berfirman yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).

Adapun nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup.[3] Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.

Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara struktural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau seimbang menjadi koordinator dari sifat-sifat lainnya.
Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam semangat kasih sayang. Demikian juga halnya Tuhan terhadap manusia.
Penerapan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan: “Muktazilah telah memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia berhubungan dengan Tuhan melalui pengrmbangan sikap adil yang dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan dan selalu dengan kepada-Nya”.
Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Menurut para pengritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah. Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan. Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir. Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahan. Jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an, tampak kata-kata adil dalam al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Namun demikian untuk menunjukkan contoh-contoh bentuk perbuatan dalam hubungannya dengan teori pertengahan, Al-Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil, misalnya:
a.          Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, Al-Qur’an menggunakan kata qawwama.
b.          Sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, Al-Qur’an menggunakan kata al-Qisth
c.          Dalam hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa, Al-Qur’an menempatkannya antara tadarru’,khifah dengan al-jahr.
d.          Untuk menggambarkan sikap pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang, Al-Qur’an menggunakan kata haunamma.
e.          Untuk menunjukkan sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan perkara, Al-Qur’an menggunakan kata al-Adl.
f.           Menggambarkan keadaan pertengahan atau yang ideal terhadap binatan semacam sapi, Al-Qur’an menggunakan kata awwanun.
g.          Menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya, Al-Qur’an menggunakan kata al-Kadzimin.
  
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlak al karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazmumah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikitan) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.

B.      Saran
Dengan selesainya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi penyusun dan pembaca semuanya. Serta diharapkan bagi kita semua supaya dapat menerapkan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan syariat islam seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dengan demikian kami sangat mengharapkan kritik dan saran agar untuk kedepanya  bisa menjadi lebih baik.




[1] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, Jilid lll, hlm.59.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, op.cit., hlm.17.
[3] Ibid., hlm.218.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar